PARENTING


JANGAN SIA-SIAKAN MEREKA



“ Sepasang suami istri tega menganiaya anak kandungnya sendiri bla bla bla “

Kalimat itu muncul dari seorang pewarta berita yag menghiasai media massa kita. Banyak tanggapan yang muncul karena berita itu. Beberapa orang ada yang menduga pasti karena sang ayah tukang pukul, pasti sang ayah suka marah-marah, ada pula yang menduga penyebab sang ayah memukul anak pasti kerena anak itu nakal, anak itu kurang ajar dan banyak dugaan-dugaan yang bermunculan.

Hati kita terkadang tidak sanggup untuk mendengarkan berita di atas. Kenapa?  Kok Bisa? sampai terjadi hal yang sangat ironis tersebut terjadi di lingkungan kita, di negeri yang kaya akan keluhuran budi.

Anak merupakan buah hati yang selalu didambakan oleh setiap pasangan suami istri . bila anak belum hadir rasa cemas terkadang menyelimuti hati yang sedang gundah gulana. Kemudian segala upaya ditempuh untuk mendapatkan momongan dengan berbagai cara, seperti berhubungan disaat masa sel telur subur, makan buah dan sayuran lebih banyak, hingga pengobatan yang mengluarkan uang yang tidak sedikit. Itu semua dilakukan karena kerinduan untuk mempunyai buah hati.

Ketika istri terlambat menstruasi, suami merasakan detak jantungnya begitu terasa cepat bergerak berlari menuju kegembiraan berliput gelisah. Di awal kehamilan pasangan suami istri pasti akan sangat berhati-hati menjaga si jabang bayi yang bermain di dalam perut sang ibu. Setiap waktu sang ibu menajak bicara sang jabang bayi dengan lembut, sang ayahpun tak ketinggalan untuk selalu memberikan perhatiannya.

Sang bayi lahir dengan penuh perjuangan, dari sisi ibu yang melalui proses persalinan yang sakit tapi tetap semangat menyambut sang bayi, sang ayah meskipun tidak merasakan sakitnya persalinan, ayah juga menunggu menemani dengan perasaan yang berkecamuk tidak karuan. Semua proses itu akan segera menyatu menjadi perasaan bahagia manakala sang bayi sudah keluar dari perut ibunya.

Bahagia yang tak terkira manakala anak hadir diantara kita. Segala usaha akan di lakukan oleh pasangan orangtua untuk membahagiakan anak-nak mereka. Dari usrusan makanan, pakaian, pendidikan, tempat tinggal yang pasti dengan segala usaha akan di tempuh. Tentunya orang tua mempunyai harrapan kepada anak-anak yang mereka besarkan dengan keringat yang bercucuran. Ingin sekali melihat mereka tumbuh menjadi anak-anka yang bahagia sukses dunia dan juga di akherat kelak.

Bagaimana bila anak tidak tumbuh sebagaimana yang diharapkan orang tua? Tentu orang tua akan akan sedih, kecewa bahkan benci. Karena anak yang diharapkan tidak sesuai dengan harapan. Sekali-kali jangan salahkan mereka, bila mereka tidak seperti apa yang orang tua harapkan. Bisa saja semua itu di karenakan kesalahan orang tua dalam mendidik anak-anak mereka.

Peranan orang tua sangatlah dibutuhkan di fase usia pertumbuhan mereka. Fase pertama usia anak-anak, mereka sangat membutuhkan kasih sayang, orang tuapun harus sabar dalam memberikan kasih sayang itu, jikalau orang tua ingin lolos dalam mendidik di fase ini.

Berlanjut di fase kedua usia remaja, mereka membutuhkan arahan dari orang tua untuk melangkah ke utara atau ke selatan, ke barat atau ke timur. Di pastikan oran tua harus lebih jeli dan teliti dalam membimbing dan mengarahkan mereka tentu tetap penuh kesabaran. Di usia remaja sudah banyak ragam pengaruh baik dari lingkuangan, sekolah maupun pergaulan mereka. Bila mana orang tua bisa lolos dalam membimbing dan membina mereka di fase remaja, maka hasil yang di dapat akan mudah untuk mendekatkan mereka pada harapan orang tua menjadi anak yang sholih dunia dan akherat tentunya.

Karena di fase ketiga usia dewasa, mereka sudah bisa menentukan pilihan hidup, karena landasan yang bagus tentunya pilihan  mereka juga akan bagus pula.
Semua tugas itu tidaklah mudah dan memang butuh pengorbanan yang tiada terhitung. Tapi semua itu memang sudah menjadi kewajiban orang tua, untuk menjadikan mereka ahli surga bukan ahli neraka.

“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (At-Tahrim: 6)

So buat orang tua sudahkah kita membimbing dan mengarahkan anak-anak kita untuk berjalan bersama menapaki jalan menuju surga? Ataukah kita masih saja memberikan keraguan jalan surga pada anak kita?

Kak Amirudin



BUNDA, AKU MASIH ANAK-ANAK


“Dek, kalau di masjid nanti harus diam ya!, jangan rame, apalagi lari-larian”
Pesan ibunda kepada anak laki-lakinya sewaktu akan berangkat dari rumah untuk pergi ke masjid. Si anak dengan segera menganggukkan kepala tanpa banyak tanya, karena keinginannya untuk pergi ke masjid. Perjalanan ke masjid dengan hati yang gembira, di selingi obrolan ringan dengan ibunda yang disayangi.
Di masjid sholat jamaahpun dimulai dengan dipimpin seorang imam yang fasih dan bagus bacaannya serta berpengetahuan agama Islam. Rakaat pertama telah selesai dan menuju rakaat kedua, Imam mulai membaca surat Al Fatihah. Semua jamaah tampak khusuk mendengarkan Imam membaca surat Al Fatihah, terlihat lengang kecuali bacaan Imam.
Tak berselang lama anak laki-laki yang sedari tadi duduk memperhatikan jamaah sholat magrib mulai tertarik untuk berdiri. Ia kemudian mulai beraksi menghitung jamaah sholat satu-persatu, sebagaiman yang diajarkan di sekolah Taman Kanak-Kanak ketika pelajaran berhitung. “Satu, dua, tiga, ….sepuluh”. Selesai menghitung, Ia pun merangkak di depan jamaah yang sedang rukuk, terbayang oleh si anak satu deretan kereta api melalui terowongan “Tuut … Tuut … Tuut … Tuut … Tuut … Tuut …”
Selesai sholat bagaimana keadaan si anak di hadapan ibundanya? Bisa diperkirakan dan sebagaimana di lakukan oleh kebanyakan orang. anak laki-laki tersebut di tarik ibundanya ke baris belakang dan mendapat nasehat atau lebih tepatnya marah yang ditahan sewaktu sholat. Meskipun ada beberapa jamaah yang memaklumi kejadian tersebut karena memang proses pembelajaran anak. Tapi tetap saja ibunda memberikan nasehat habis-habisan di karenakan “merasa” malu anaknya mengganggu orang sholat.
“Dek, tadikan sudah ibunda bilang, kalau mau ikut ke masjid syaratnya diam. Dah, besok lagi ibunda tidak akan mengajakmu pergi ke masjid, ayo pulang!”
Gambaran diatas mungkin tidak semua anak mengalami dan tidak semua orang tua melakukan hal tersebut, akan tetapi masih kita jumpai pola asuh orang tua sebagaimana contoh diatas. Coba kita cermati kisah anak di atas , banyak hal negative yang akan timbul dengan cara pola asuh seperti itu.
1.      Nasehat yang diberikan oleh orang tua sebelum berangkat ke masjid sudah bagus, akan tetapi penggunaan kalimat alangkah baiknya mewakili masa pertumbuhan anak. Sebagai contoh kata “Harus diam” untuk anak bisa di ganti dengan “Mengikuti gerakan sholat” sehingga redaksinya bisa menjadi “Dek, kalau di masjid nanti Mengikuti gerakan sholat ya!” dan kalimat jangan rame apalagi lari-larian di hilangkan, karena hal itu bisa saja menjadi inspirasi si anak untuk melakukannya.
2.      Sebenarnya memori anak sudah dapat merekam apa yang di sampaikan ibundanya di rumah. Terlihat pada saat rakaat pertama anak tetap duduk melihat orang-orang sholat di sekelilingnya. Akan tetapi anak tetaplah anak, yang masih berada di dunia bermain.
3.       Meskipun mulai bergerak kesana-kemari anak tersebut mempraktekkan pelajaran yang diterima di sekolah, dengan menghitung jumlah jamaah. Anak belajar di setiap tempat, tidak hanya di sekolah.
4.      Imajinasi anakpun terbangun di sini, kita lihat Ia menggambarkan orang yang sedang ruku bagaikan terowongan yang di lewati kereta api.
5.      Dan yang paling utama keinginan anak untuk ke masjid harus di berikan apresiasi tersendiri, karena tidak semua anak mempunyai keinginan untuk pergi ke masjid. Kalau sudah tidak di ajak, sama halnya melarang si anak untuk pergi ke masjid. Dengan melarang anak bisa menimbulkan ketidaksukaan anak dengan masjid. Bagaimana kita bisa mendekatkan anak dengan Penciptanya kalau ke masjid saja tidak boleh.
Terus pertanyaan bagaimana kita mengenalkan anak dengan lingkungan masjid bila anak kita masih sebagaiman gambaran di atas. Kita mengetahui anak-anak ya anak-anak mereka punya ruang berpikir sendiri berbeda dengan orang dewasa, itu hal pertama yang harus kita perhatikan. So butuh kesabaran dalam memberikan pembiasaan pada anak-anak. ada beberapa tips yang bisa di terapkan pada anak-anak kita:
1.      Kedekatan kita dengan anak diperlukan, supaya anak akan mudah untuk menerima nasehat kita. Caranya gimana? Bisa dengan bermain dengan anak kita, menemani mereka belajar, maupun bercerita pada anak.
2.       Gunakan kata-kata yang mudah dipahami dan bersifat mengajak.
Contoh: “Dek, Yuk kemasjid! kita sholat”
3.      Alangkah baiknya anak kita ajarkan bagaimana cara sholat yang benar, baik di masjid maupun di rumah dan kita yang mengajari serta mengawasinya. Agar supaya ketika anak kita sholat di masjid, Ia akan bisa melakukan dan terpacu untuk mengikuti imam.
4.      Kita sampaikan kisah- kisah hikmah sholat dan keutamaan di masjid.
5.      Kesabaran dalam memberikan contoh, karena hal itu akan menjadi tauladan, sebagaimana ada pepatah yang mengatakan “Satu tauladan lebih baik daripada seribu nasehat”.
Semoga bermanfaat dalam membina anak kita mengajari sholat di masjid dan menjadi anak yang sholeh dan sholihah aamiiin.

Kak Amirudin


KUNCI SUKSES



Di era modernitas sekarang ini banyak orang tua yang selalu terobsesi untuk menjadikan anak-anak mereka menjadi orang yang sukses kelak. Banyak dari mereka siap mengeluarkan biaya yang besar untuk melancarkan tujuan itu. Mulai dari menyekolahkan mereka di sekolah-sekolah ternama yang mempunyai reputasi baik dan bagus tetunya. Memberi tambahan belajar di Lembaga Bimbingan Belajar (LBB) yang telah teruji kemampuannya membuat anak-anak menembus jawara kelas, ujian nasional bahkan seleksi unversitas, semua iu demi sebuah tujuan awal yaitu sukses.

Lalu pertanyaannya;
Apakah, jika sudah mempunyai perusahaan di sebut sukses?
Apakah, jika sudah mempunyai rumah besar di sebut sukses?
Apakah , jika sudah mempunyai deposito di berbagai bank di sebut sukses?
Apakah, jika sudah menjadi pegawai negeri sipil di sebut sukses?
Apakah, jika sudah menjadi bos di sebut sukses?
Apakah, jika sudah bertitel manajer di sebut sukses?

Beberapa deret pertanyaan di atas bisa di jawab dengan jawaban “Ya” manakala kita melihat dari sudut pandang materi semata. Akan tetapi bagaimana dengan pertanyaan yang ini?

Apakah hanya dengan materi kita di sebut sukses?
Jawabannya tentulah “tidak” bila kita melihat sukses dari berbagai sudat pandang yang lebih luas.

Sebagai permisalan:
Seorang bapak penjual siomay keliling dengan penghasilan pas-pas an bisa di sebut sukses karena ia bisa menikmati pekerjaannya, bisa mencukupi kebutuhan anak-anak dan isterinya, anak-anak mendapatkan pendidikan formal yang memadai, meraka dapat bermain dengan riang gembira sehingga mereka menikmati hari-hari mereka. Sang ibu dengan matematika sedderhananya membelanjakan uang untuk kebutuhan sehari-hari, mulai dari bahan makanan dan semua urusan kerumah tanggaan lainnya.

Isteri membantu suami dengan ketulusan hati, suka duka mereka jalani bersama dengan sabar, saling mengajak dan saling mengingatkan akan kebaikan yang terlupa, mengajari anak-anak akan kebaikan kehidupan, memberi suri tauladan yang baik untuk kehidupan mendatang. Dan tidak kalah penting mengajari keluarga mensyukuri nikmat yang telah Allah SWT berikan.

So sukses itu;
Bila suami mencari rezeki yang halal.
Bila isteri dapat mengatur urusan keluarga.
Bila terjadi musyawarah di dalam kelurga.
Bila ayah bertanggung jawab akan perjanan kapal keluarga.
Bila anak-anak berkembang dengan baik menikmati fase-fase kehidupan mereka.
Bila semua mengajak kebaikan.
Bila anak-anak mereka sekolah.
Bila semua ingat selalu dengan yang mencipta mereka.
Bila semua semangat beribadah dengan baik.
Dan seterusnya ....

Kalau boleh kita sampaikan bahwa SUKSES itu adalah BAHAGIA

Kak Amirudin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar